Rabu, 11 Mei 2016

KISAH PEMUDA DAN BUAH APEL!!

Dikisahkan, beberapa abad lalu di masa akhir era tabi’in, 
hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa.

Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan 
di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana. 
Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu. Dalam kondisi yang lapar, 
Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa 
diduga di saat yang tepat.

Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. 
Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? 
bisiknya dalam hati. Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan 
apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon 
yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” 
kata Tsabit menyesal.

Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? 
Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang 
sudah digigitnya itu.

Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa 
pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai. 
Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.

Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun 
apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini 
berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan 
saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.

Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana 
saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah 
yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun 
apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”

Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari 
keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah 
si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang 
telah jatuh ke sungai digigit olehnya.

Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.

“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari 
kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan 
Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” 
ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.

Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak 
ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!”

Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit 
menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak 
memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.

“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.

“Kau harus menikahi putriku.”

Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit.  “Benarkah itu yang menjadi 
syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang 
besar,” tanya Tsabit tak percaya.

Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus 
Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan, 
apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.

Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena 
mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit 
menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.

Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda 
tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.

“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.

***

Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar 
pengantin wanita dengan langkah yang berat.

Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi 
syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.

Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut 
nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit.

Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit 
kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya 
merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.

Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak 
salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah 
tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.

“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.

“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang 
dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.

“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.

“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,
” kata si gadis.

“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”

“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya 
terdapat rida Allah.”

“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”

“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah 
murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.

Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur.

Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu 
hingga jelas kehalalannya.

Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, 
menikahkannya dengan putrinya yang salehah.

Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni 
Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah.

Bersama istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam 
besar dari empat madzab.

Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat 
dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.

Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi 
biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in di masa Dinasti 
Umayyah dan Abbasiyyah.

Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi, 
pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80 hijriah 
atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan “Fiqh al-Akbar”, yang 
hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.

Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah, 
Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan 
waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, 
dan janganlah engkau mengikuti langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu 
adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah, 2:168)

Si Tukang Batu Yang Di Cium Rasulullah SAW

Kisah Teladan Islami kali ini akan membagi tentang Si Tukang Batu Yang Di Cium Rasulullah . Diriwayatkan pada saat itu Rasulullah baru tiba dari Tabuk, peperangan dengan bangsa Romawi yang kerap menebar ancaman pada kaum muslimin. Banyak sahabat yang ikut beserta Nabi dalam peperangan ini. Tidak ada yang tertinggal kecuali orang-orang yang berhalangan dan ada uzur.
Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.
Sang manusia Agung itupun bertanya, “Kenapa tanganmu kasar sekali?”
Si tukang batu menjawab, “Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”
Rasulullah adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena mencari nafkah yang halal, Rasul pun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,
“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya’.
* Rasulullahl tidak pernah mencium tangan para Pemimpin Quraisy, tangan para Pemimpin Khabilah, Raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya putrinya Fatimah Az Zahra dan tukang batu itulah yang pernah dicium oleh Rasulullah. Padahal tangan tukang batu yang dicium oleh Rasulullah justru tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, kapalan, karena membelah batu dan karena kerja keras.
Suatu ketika seorang laki-laki melintas di hadapan Rasulullah. Orang itu di kenal sebagai pekerja yang giat dan tangkas. Para sahabat kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, andai bekerja seperti dilakukan orang itu dapat digolongkan jihad di jalan Allah (Fi sabilillah), maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fi sabilillah.” (HR Thabrani)
* Orang-orang yang pasif dan malas bekerja, sesungguhnya tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan sebagian dari harga dirinya, yang lebih jauh mengakibatkan kehidupannya menjadi mundur. Rasulullah amat prihatin terhadap para pemalas.
”Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kam di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah 10)
”Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi ini”. (QS Nuh19-20)
* ”Siapa saja pada malam hari bersusah payah dalam mencari rejeki yang halal, malam itu ia diampuni”. (HR. Ibnu Asakir dari Anas)
”Siapa saja pada sore hari bersusah payah dalam bekerja, maka sore itu ia diampuni”. (HR. Thabrani dan lbnu Abbas)
”Tidak ada yang lebih baik bagi seseorang yang makan sesuatu makanan, selain makanan dari hasil usahanya. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud, selalu makan dan hasil usahanya”. (HR. Bukhari)
”Sesungguhnya di antara dosa-dosa itu, ada yang tidak dapat terhapus dengan puasa dan shalat”. Maka para sahabat pun bertanya: “Apakah yang dapat menghapusnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Bersusah payah dalam mencari nafkah.” (HR. Bukhari)
”Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, maka sama dengan pejuang dijaIan Allah ‘Azza Wa Jalla”. (HR. Ahmad)
Demikianlah sebagan kecil tentang kisah teladan Islami agar kita semakin tahu dan semakin giat dalam mencari rizki allah yang halal dan berkah.

Pemimpin 

Yang Rela Kelaparan Asal Perut Rakyatnya Terisi


Ada kisah menyentuh dari seorang Umar bin Khattab. Ia memang pernah menjadi musuh yang paling ditakuti oleh umat Islam, namun kemudian dengan izin Allah ia menjadi sosok pelindung Islam yang paling kuat. Umar bahkan menjadi pemimpin yang paling disegani dan sayang tehadap rakyatnya.
Diceritakan bahwa krisis masih melanda Madinah kala itu. Korban sudah banyak berjatuhan. Jumlah orang-orang miskin terus bertambah. Khalifah Umar Bin Khatab yang merasa paling bertanggung jawab terhadap musibah itu, memerintahkan menyembelih hewan ternak untuk dibagi-bagikan pada penduduk.
Ketika tiba waktu makan, para petugas memilihkan untuk Umar bagian yang menjadi kegemarannya: punuk dan hati unta. Ini merupakan kegemaran Umar sebelum masuk Islam. “Dari mana ini?” Tanya Umar.
Dari hewan yang baru disembelih hari ini,” jawab mereka.
Tidak! Tidak!” kata Umar seraya menjauhkan hidangan lezat itu dari hadapannya. “Saya akan menjadi pemimpin paling buruk seandainya saya memakan daging lezat ini dan meninggalkan tulang-tulangnya untuk rakyat.”
Kemudian Umar menyuruh salah seorang sahabatnya, ”Angkatlah makanan ini, dan ambilkan saya roti dan minyak biasa!” Beberapa saat kemudian, Umar menyantap yang dimintanya.
Kisah yang dipaparkan Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya ar-Rijal Haular Rasul itu menggambarkan betapa besar perhatian Umar terhadap rakyatnya. Peristiwa seperti itu bukan hanya terjadi sekali saja. Kisah tentang pertemuan Umar dengan seorang ibu bersama anaknya yang sedang menangis kelaparan, begitu akrab di telinga kita. Ditengah nyenyaknya orang tidur. Ia berkeliling dan masuk sudut-sudut kota Madinah. Ketika bertemu seorang ibu dan anaknya yang sedang kelaparan, Umar sendiri yang pergi mengambil makanan. Ia sendiri juga yang memanggulnya, mengaduknya, memasaknya dan menghidangkannya untuk anak-anak itu.
Ketika kelaparan mencapai puncaknya Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui sepertinya sangat menikmati makanan itu. “Agaknya Anda tidak pernah merasakan lemak?” Tanya Umar.
Benar,” kata badui itu. “Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenayangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”
Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.
Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar berpesan, “Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa Anda makan.”
Sikap seperti itu tak hanya dimiliki Umar bin Khattab. Ketika mendengar dari Aisyah bahwa Madinah tengah dilanda kelaparan. Abdurrahman bin Auf yang baru pulang dari berniaga segera membagikan hartanya pada masyarakat yang sedang menderita. Semua hartanya dibagikan.
Ironisnya, sikap ini justru amat jauh dari para pejabat sekarang. Penderitaan demi penderitaan yang terus melanda bangsa ini, tak meyadarkan mereka. Naiknya harga kebutuhan pokok sebelum harga BBM naik dan meningkatnya jumlah orang-orang miskin, tak menggugah hati mereka. Bahkan, perilaku boros mereka kian marak.
Anggota Dewan yang ditunjuk rakyat sebagai wakil, justru banyak yang berleha-leha. Santai dan mencari aman. Pada saat yang sama, para pejabat yang juga dipilih langsung, tak pernah memikirkan rakyat. Yang ada dalam benak mereka , bagaimana bisa aman selama lima tahun ke depan.
Mereka yang dulu vocal mengkritik para pejabat korup dan zalim, justru kini diam. Ia takut kalau kursi yang saat ini didudukinya lepas. Sungguh jauh beda dengan Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Rasulullah saw. Ketika suatu saat dia cukup pedas mengkritik para pejabat di Madinah, Ustman bn Affan memindahkannya ke Syam agar tak muncul konflik. Namun, ditempat inipun ia melakukan kritik tajam pada Muawiyah bin Abu Sufyan agar menyantuni fakir miskin.
Muawiyah pernah mengujinya dengan mengirimkan uang. Namun ketika esok harinya uang itu ingin diambilnya kembali, ternyata Abu Dzar telah membagikannya pada fakir miskin.
Sesungguhnya, negeri kita ini tidak miskin. Negari kita kaya. Bahkan teramat kaya. Tapi karena tidak dikelola dengan baik, kita menjadi miskin. Negeri kita kaya, tapi karena kekayaan itu hanya berada pada orang-orang tertentu saja, rakyat menjadi miskin. Kekayaan dimonopoli oleh para pejabat, anggota parlemen dan para pengusaha tamak.
Di tengah suara rintihan para pengemis dan orang-orang terlantar, kita menyaksikan para pejabat dan orang-orang berduit dengan ayik melancong ke berbagai negari. Mereka seolah tanpa dosa menghambur-hamburkan uang dengan membeli barang serba mewah.
Ditengah gubuk-gubuk reot penuh tambalan kardus bekas, kita menyaksikan gedung-gedung menjulang langit. Diantara maraknya tengadah tangan-tangan pengemis, mobil-mobil mewah dengan santainya berseleweran. Pemandangan kontras yang selalu memenuhi hari-hari kita.
Dimasa Umar bin Abdul azis, umat Islam pernah mengalami kejayaan. Kala itu sulit mencari mustahiq (penerima) zakat. Mereka merasa sudah mampu, bahkan harus mengeluarkan zakat. Mereka tidak terlalu kaya. Tapi, kekayaan dimasa itu tidak berkumpul pada orang-orang tertentu saja.
Disinilah peran zakat, infak dan shadaqah. Tak hanya untuk ‘membersihkan’ harta si kaya, tapi juga menuntaskan kemiskinan.
Jika ini tidak kita lakukan, kita belum menjadi mukmin sejati. Sebab, seorang Mukmin tentu takkan membiarkan tetanggana kelaparan. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang yang dirinya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Muslim)
Siapa yang tidak kenal dengan Umar Ibnul Khattabradhiallahu anhu. Beliau merupakan sosok yang memiliki tubuh besar, disiplin tinggi, watak keras, dan tak kenal gentar dalam menghadapi musuh. Tetapi dibalik sifat tegasnya Umar terkenal memiliki hati yang lembut.
Banyak hal yang bisa diteladani dari kepribadian Umar bin Khattab. Sahabat Nabi ini memang memiliki keistimewaan tersendiri, di masa pemerintahannya Islam bisa berkembang dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia. Dibalik kerasnya watak dan sifat beliau ada beberapa kisah yang bisa dijadikan teladan untuk umat Islam.
Berikut ini ada beberapa kisah Khalifah kedua ...
KATA “blusukan” menjadi kata baru dalam kosa kata bahasa Indonesia saat ini. Kata ini dikenal saat Presiden Joko Widodo atau Jokowi masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.  Sejak saat itu pula kata blusukan semakin menasional. Blusukan adalah istilah Bahasa Jawa, yang sejatinya adalah keluar-masuk kampung.
Namun sayang meski dilandasi niat tulus tetapi di negeri ini blusukan masih dianggap sebagai bagian dari pencitraan. Sebagian pihak menilai blusukan hanyalah cara untuk menaikkan pamor. Publik masih belum begitu yakin jika turun langsung ke masyarakat, melihat kondisi pasar, berdialog dengan petani dan nelayan adalah cara ampuh untuk menyelesaikan persoalan yang kian menggunung.
Jika menilik sejarah, sebenarnya blusukan bukanlah barang baru. Dalam sejarah Islamblusukan sudah lama dipraktekkan. Pola kerja seperti ini ternyata sudah dilakukan sejak 1400 tahun yang lalu. Cerita yang paling mahsyur adalah blusukan yang dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab.
Suatu masa tanah Arab pernah mengalami paceklik yang amat memprihatinkan. Hujan lama tak turun. Lahan menjadi tandus. Tanaman warga tak bisa dipanen karena kering kerontang. Jumlah hewan ternak yang mati juga sudah tak dapat dihitung. Keputusasaan mendera hampir di seluruh masyarakat. Khalifah Umar Bin Khattab mengeluarkan kebijakan agar setiap hari dilakukan pemotongan unta agar dagingnya bisa dinikmati oleh warga. Sedangkan ia memilih untuk berpuasa dari makanan enak.
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, Umar pun tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam Umar yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang terletak di tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka terkejut saat mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Mereka pun bergegas mendekati gubuk tersebut untuk memastikan suara apakah itu.
Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan tua sedang memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di sampingnya tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena penasaran Umar pun meminta izin untuk masuk.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh dan kembali melanjutkan aktifitasnya.
“Siapa yang tengah menangis, apakah dia sakit?” tanya Umar.
“Anakku. Dia tidak sedang sakit. Ia hanya sedang kelaparan” jawab perempuan tanpa menoleh ke arah Umar.
Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam. Hingga akhirnya keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan Aslam duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si anak perempuan terus menangis.
“Apa yang sedang engkau masak, wahai Ibu? Kenapa masakanmu tidak kunjung matang?” tanya Khalifah Umar penasaran.
“Ayo kemari, coba engkau lihat sendiri” Kata perempuan tua tersebut sambil menoleh ke arah Umar dan Aslam.
Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan melihat ke dalamnya. Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci tersebut.
“Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya.
Perempuan itu hanya menganggukkan kepala.
“Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar mereka mengira aku sedang memasak. Sebagai seorang janda miskin apa yang bisa aku lakukan. Meminta anak-anakku berpuasa dan berharap seseorang mengantarkan makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang datang. Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian menangis”
Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan. Umar merasa bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan.
“Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum”
Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun dihalangi oleh Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si Ibu. Dengan air mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memilkulnya sendiri.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak kelelahan.
Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah. Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku nanti di akhirat kelak? “
Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika melihat Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.
Itulah salah satu kisah masyur yang memperlihatkan bagaimana Umar begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Ia bahkan menangis ketika melihat rakyatnya kelaparan. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya menjadi teladan bagi siapa saja yang diamanahi tampuk kepemimpinan. Lewat kisah di atas Umar juga secara tak langsung juga mengajarkan bagaimana cara melakukan blusukan yang benar.
Blusukan Umar Sunyi Senyap
Jika merujuk dari cerita di atas maka jelaslah jika Khalifah Umar memilih malam hari sebagai waktu untuk blusukan. Bukan pada siang hari saat mentari terang menderang. Bahkan sejarah juga mencatat jika Khalifah Umar hampir setiap malam melakukan blusukan.
Kenapa pola seperti ini yang dilakukan oleh Umar?
Alasannya sederhana saja. Khalifah Umar tau jika blusukan itu memiliki misi mulia. Sehingga untuk melakukannya harus dikerjakan secara sembunyi sembunyi, bukan terbuka. Khalifah Umar menerobos gelapnya malam untuk menyibak fakta yang mungkin masih tersembunyi. Memastikan apakah pejabat di dalam pemerintahannya sudah bekerja dengan baik. Beliau ingin blusukan dilakukan tanpa rekayasa.
Blusukan yang dilakukan Khalifah Umar jelas bukan untuk mendapatkan lambaian tangan rakyat, ataupun pelukan dan hura-hura. Sebab yang dibutuhkan Khalifah Umar hanyalah informasi tentang masalah yang masih belum dapat diselesaikan selama kepemimpinannya. Sebab ia tau, amanah ini akan dipertanggungjawabkan di depan Mahkamah Tuhan.
Cara blusukan dalam sunyi senyap sebenarnya juga bisa dilakukan oleh siapapun di level apapun. Tidak harus Presiden, Menteri, Gubernur atau Bupati Walikota. Camat dan Lurah/ Keuchikpun sebenarnya bisa meniru pola seperti ini. Menemukan masalah dan segera menyelesaikannya. Blusukan pada malam hari yang dilakukan Umar Bin Khattab mengisyaratkan jika blusukan tidak selamanya membutuhkan sorotan kamera apalagi set lighting yang menyilaukan mata.
Langsung Kerja Tak Perlu Banyak Gaya
Saat menemukan fakta yang mengejutkan Umar segera kembali ke Madinah. Ini adalah bukti jika Umar tak banyak gaya dan rethorika. Yang dilakukan Umar adalah kerja, kerja, kerja. Memanggul gandum adalah bentuk dari rasa tanggung jawab. Sebagai pemimpin tak perlu sungkan untuk melakukan suatu kebaikan dengan tangannya sendiri. Tak perlu ajudan, tak perlu pengawal kalau hanya sekedar ingin melakukan kebaikan. Lakukan sebuah pekerjaan dengan tangan sendiri. Mungkin itu pula yang ingin Umar Bin Khattab sampaikan kepada pemimpin setelahnya.
Lalu jika ada seorag menteri blusukan hingga harus memanjat pagar, apakah itu salah? Tentu saja tidak justru itulah tugas dia. Akan menjadi salah jika semua hanya sebatas gaya, apalagi dilakukan di depan massa dengan membawa bantuan kamera.
Tetapi jika setelah investigasi tersebut lalu pak menteri mengeluarkan kebijakan yang berkualitas, panjat pagar tersebut bukanlah bagian dari pencitraan. Sebaliknya jika usai investigasi lalu tidak ada yang berubah maka pak menteri hanya sedang bersandiwara.
Kehidupan Pemimpin Harus Lebih “Susah” Dari Rakyatnya
Dalam sejarah, Umar Bin Khattab adalah pemimpin yang hidupnya sederhana. Amat sederhana malah untuk seorang Khalifah. Saat tanah Arab menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia makan hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya. Solusinya ia hanya menyantap roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya panas. Makanan yang ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi kenyang melainkan sebaliknya.
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap Umar saat perutnya kosong.
Blusukan sejatinya harus diiringi dengan kesederhanaan pemimpinnya. Jika pemimpin masih bisa merasakan kenikmatan di tengah sulitnya kehidupan masyarakat maka blusukan menjadi tidak bermakna. Seorang pemimpin yang baik pasti tau jika rakyatnya sedang senang atau melarat. Demikian cara Umar dalam mendidik para pemimpin setelahnya. Hidup sederhana dan peduli dengan rakyat yang dipimpinnya.
Blusukan sebenarnya cara baik jika dilakukan dari niat yang baik. Lantas bagaimana cara membedakan antara blusukan dengan pencitraan? Ya sederhananya dapat ditemukan dari cara yang dilakukan. Jika hanya melulu berorientasi pada “drama” lalu tak jelas hasil dariblusukan tersebut maka dipastikan itu semua hanya sebuah pencitraan. Tetapi jika blusukandibarengi dengan solusi kongkrit maka itu adalah sebuah kerja.

Rabu, 14 Oktober 2009

Belajar TIK

Latihan Soal Pra TTS

1. Kombinasi tombol CTRL + Z digunakan untuk ...........................
2. Untuk membeli e-book dapat melalui internet dan dapat diambil juga melalui internet dengan cara .....
3. Personal Data Assistant (PDA) dalam bahasa Indonesia memiliki arti …………….…
4. PDA adalah teknologi gabungan antara ...... dengan ........
5. Sebutkan 3 sistem operasi yang kamu ketahui !
6. Apa pengertian dari extension ?
7. Apa fungsi dari extension !
8. Personal Data Assistant di singkat dengan ....
9. Berikut ini adalah system operasi, kecuali ......
10. Sistem Operasi paling yang banyak digunakan di Indonesia adalah ….

Latihan Soal Pra TTS

1. Kombinasi tombol CTRL + Z digunakan untuk ...........................
2. Untuk membeli e-book dapat melalui internet dan dapat diambil juga melalui internet dengan cara .....
3. Personal Data Assistant (PDA) dalam bahasa Indonesia memiliki arti …………….…
4. PDA adalah teknologi gabungan antara ...... dengan ........
5. Sebutkan 3 sistem operasi yang kamu ketahui !
6. Apa pengertian dari extension ?
7. Apa fungsi dari extension !
8. Personal Data Assistant di singkat dengan ....
9. Berikut ini adalah system operasi, kecuali ......
10. Sistem Operasi paling yang banyak digunakan di Indonesia adalah ….

Mars SDM 6