KISAH PEMUDA DAN BUAH APEL!!
hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa.
Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang berjalan
di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan menyejukkan di sana.
Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu. Dalam kondisi yang lapar,
Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah apel datang tanpa
diduga di saat yang tepat.
diduga di saat yang tepat.
Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan.
Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini?
bisiknya dalam hati. Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan
apel tanpa izin empunya. Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon
yang ditanam seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,”
kata Tsabit menyesal.
Ia pun kemudian menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu?
Tsabit berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel yang
sudah digigitnya itu.
Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat sebuah kebun apel. Beberapa
pohon apel tumbuh subur di samping sungai. Rantingnya menjalar dekat sungai.
Tak mengherankan jika buahnya sering kali jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit pun segera mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun
apel tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel ini
berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan
saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Namun, penjaga kebun itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana
saya dapat memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah
yang berhak memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun
apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari
keridaan pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah, apakah
si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak meridai apelnya yang
telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan sebuah apel dari
kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang untuk meminta kerelaan
Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,”
ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak
ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak!”
Penasaran dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit
menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Aku tidak
memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” kata pria tua itu.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas.
“Kau harus menikahi putriku.”
Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi
syarat Anda? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang
besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang harus
Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Tak mampu berjalan,
apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena
mengigit sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit
menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda
tampan, harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel.
“Datanglah ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
***
Malam hari usai shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar
pengantin wanita dengan langkah yang berat.
Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi
syarat sang pemilik apel. Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut
nan merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap. Tsabit
kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita yang seharusnya
merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak
salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang dikatakan ayah
tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang
dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,
” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu bisu dan tuli.”
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya
terdapat rida Allah.”
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh.”
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah
murkai,” ujar si gadis yang membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur.
Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu
hingga jelas kehalalannya.
Melihat kegigihan dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu,
menikahkannya dengan putrinya yang salehah.
Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni
Nu’man bin Tsabit atau yang lebih dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah.
Bersama istrinya yang salehah, Tsabit mendidik putranya menjadi salah satu imam
besar dari empat madzab.
Kisah pemuda yang bukan lain adalah ayah dari Imam Abu Hanifah tersebut terdapat
dalam kitab terkenal “Al-Aghani” karya Abu Al-Faraj Al-Isbahani.
Buku terkenal dalam kesusastraan Arab tersebut berisi tentang sajak lagu serta informasi
biografi dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in di masa Dinasti
Umayyah dan Abbasiyyah.
Sebagaimana diketahui, Abu Hanifah merupakan ulama cerdas ahli fikih dan ahli ra’yi,
pelopor mazhab Hanafi. Ia lahir di Kufah, ibukota Dinasti Umayyah, pada 80 hijriah
atau 699 masehi. Kitabnya yang terkenal, yakni “Kitabul-Athar” dan “Fiqh al-Akbar”, yang
hingga kini menjadi rujukan hukum fikih bagi para pengikut madzhab Hanafi di seluruh dunia.
Dalam mempelajari hadis, Abu Hanifah sempat bertemu dengan sahabat Rasulullah,
Anas bin Malik, yang wafat tahun 93 hijriah. Di masa remajanya, Abu Hanifah menghabiskan
waktu untuk mempelajari hadis Rasulullah.
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah engkau mengikuti langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah, 2:168)